Bila Esok Tiba

by -45 Views

JAKARTA, RATIMNEWS.COM – Aku tak pandai berkata-kata. Terlebih saat aku harus bicara tentang perasaan. Sekarang bila aku menuliskan sekali lagi kisahku bersamamu, maka itu bukan untuk membuatmu luluh. Bukan juga untuk menarikmu kembali. Bukan itu maksud utamaku menghadirkan tulisan ini.

Tapi ada satu hal yang pasti mengapa tulisan ini hadir. Tak lain dan tak bukan adalah soal lonceng di hatiku yang pernah berdenting penuh irama. Gejolak yang membuat segala sesuatu menjadi lebih hidup.

Setidaknya aku ingin satu hal. Aku ingin kau tahu bahwa ada sesuatu yang tak pernah benar-benar pergi. Sesuatu yang tertahan dalam hati. Sesuatu yang masih terus hidup dan berdiam di sini. Entah sampai kapan aku pun tak tahu.

***

Aku masih ingat hari itu menjelang senja. Kau datang dengan senyum kecil yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Bahkan di wajah siapapun.

Matamu berbinar dalam balutan senyuman wajah yang ceriah. Seolah menyimpan banyak cerita bahagia yang tidak semua orang bisa baca. Entah mengapa aku ingin menjadi seseorang yang mampu mengungkap tabir itu.

Sejak itulah aku tahu. Ada perasaan yang jatuh. Seperti sebuah Lonceng yang mulai berdendang perlahan dalam hati dan tak lekas berhenti.

Hari-hari pun berlalu. Kita kemudian menjadi seperti dua helai daun yang hanyut dalam arus yang sama. Kadang saling berdekatan. Kadang menjauh. Tapi selalu dalam arah yang sama.

Aku pernah menunjukkan rasa kagum. Mungkin juga pernah bersikap penuh cinta kala bersua. Namun terkadang aku bahkan bersikap tak peduli. Seolah tak ada satu rasa pun yang bergetar dalam hati.

Banyak senyum dan tawa yang kita tunjukkan. Begitu pula keheningan dalam sunyi. Setiap genggaman. Setiap kecupan. Bahkan setiap dekapan yang penuh kasih turut berperan menyatukan dua insan yang tak pernah berterus-terang. Itu semua adalah kisah yang sulit terbayangkan namun indah saat mengenangnya.

***

Sayangnya waktu tak selalu ramah. Kadang ia memisahkan bukan karena cinta dan getaran itu hilang. Tapi karena hidup memanggil kita ke arah yang berbeda.

Kita mungkin pernah bercanda gurau untuk tidak melupakan. Kita mungkin pernah merasa dalam hati untuk tak ingin kehilangan satu sama lain. Mungkin juga bukan untuk selalu bersama dan bertahan pada kisah hidup yang tetap sama. Tapi terutama untuk tetap menyimpan. Iya,…menyimpan rasa itu dalam-dalam di lubuk hati yang tak semua orang bisa melihatnya. Seperti puisi yang tidak pernah selesai ditulis. Namun selalu indah untuk dikenang bersama jiwa yang mencinta.

***

Sudah bertahun-tahun, semesta menarik dua utas tali ke arah yang terpisah. Tak apa-apa. Aku tak meminta untuk kembali mengulang. Tidak juga berharap akan ada akhir yang bahagia seperti dalam film. Aku hanya ingin mengenang sekilas bahwa ada hal yang tak sempat dinyatakan secara pasti.

Setiap malam saat kesunyian menggantung di udara, aku sering bertanya-tanya. Apakah kau juga merasa bahwa kita masih saling menyimpan perasaan itu? Apakah getaran yang dulu kurasakan juga ada di hatimu?

Setiap detik yang kita habiskan bersama dulu adalah harta karun dalam memoriku. Aku masih ingat suara tawamu. Senyummu. Sinar wajahmu. Atau soratan dan lirikan matamu padaku sambil tersenyum tipis.

Aku juga masih ingat dengan baik saat kita berjalan di lorong pasar. Saat tanganmu erat menopang di pundakku oleh karena nyeri yang kau rasakan di kakimu.

Aku ingat saat tanganmu yang lembut dan terasa dingin kala kuraih. Aku ingat bisikanmu di malam itu. Aku benar-benar menyimpannya.

Kadang aku bermimpi tentang sebuah pertemuan. Kita berdiri berhadapan di ruangan yang pernah kita datangi dulu. Kau tersenyum. Aku berjalan perlahan mendekat. Lalu kita saling mendekap.

Bukan karena ingin mengulang masa lalu. Tapi karena ingin menyapa kenangan yang masih hidup dalam ingatku dan dalam hati ini.

Dalam dekapan itu kita tidak berkata apa-apa. Tapi pada kedalaman jiwa, hati kita berbicara. Dan semua rasa yang tertahan mengalir begitu saja.

***

Aku percaya. Bila esok tiba, kita pasti akan dipertemukan kembali. Entah oleh waktu atau takdir. Entah apapun sebutnya–perasaan itu masih ada. Iya, perasaan akan sebuah cinta yang hidup. Masih tetap bergetar abadi. Seperti dulu. Setidaknya dalam hatiku.

Perasaan yang mungkin lebih tenang. Lebih matang namun masih tetap sama indahnya.

Perasaan yang kini bukan lagi tentang memiliki. Ia lebih tentang mengerti. Tentang menerima dan merawatnya. Meskipun jalan yang ditempuh berada pada dua garis yang sejajar namun tak menyatu.

Aku mencintaimu dengan sungguh. Dengan cara yang paling sederhana. Sesederhana untuk cukup tahu bahwa kau pernah ada dan masih tinggal di hati ini.

Bila suatu hari nanti kita bertemu kembali, mungkin saat itu kita sudah terlalu banyak berubah. Kecuali degup itu. Rasa itu. Getaran itu. Yang akan membawa kita saling mengenali meski dunia telah mengubah kita.

Dan bila saat itu datang biarlah kita saling hanyut dalam kisah yang tersimpan rapi di hati. Biarlah kita mendekap dalam aliran rindu yang tak berkesudahan.

Tentu bukan untuk menuntaskan apa yang tak selesai. Tapi lebih pada memberi ruang bagi cinta yang selama ini kita jaga dalam diam, dalam hati masing-masing. Biarlah dekapan sebagai penawar indah pada kalbu. Pada balutan kasih yang putih.

Malam ini seperti malam yang lalu-lalu. Langit yang perlahan mulai gelap dalam pekat tertangkap dari sorotan mataku. Lalu melewati celah-celah bening kristal pada dinding hijau.

Terlihat hujan turun perlahan dan menetes pada tepian genteng tua. Rintik-rintiknya menari-nari mengiringi pikiranku yang berkelana jauh. Lagu-lagu lama menyapa telingaku. Dan semua itu entah kenapa membawaku kembali padamu.

Aku tak pernah tahu apakah kau juga merasakan hal seperti itu. Aku hanya percaya. Jika hatimu masih menyimpan secuil saja dari masa itu, maka kau pasti tahu apa yang kuurasakan saat ini.

Cinta meski tidak diucapkan selalu punya cara sendiri untuk hidup di dalam diri kita.

Aku teringat saat hari terakhir kita bersama. Saat malam di mana kita akan pergi menghabiskan waktu untuk sekian minggu. Kita tidak saling menangis. Kita juga tidak saling memohon untuk bertahan. Hanya diam di antara makhluk alam di sekitar kita.

Diam yang penuh makna yang diakhiri dengan dekapan penuh kasih. seolah itu adalah yang terakhir kalinya.

Kita mungkin bisa menduga satu hal. Bila saat itu datang lagi, maka tak ada satu pun dari kita yang bersalah. Semuanya mengalir begitu saja.

Entah karena kisah yang tak pernah dimulai. Hingga bermuara pada kenangan yang tak pernah ditutup oleh kata sudah.

Tapi lebih dari pada itu, semesta telah memilih jalannya sendiri. Jalan untuk memberi makna pada arah yang tergariskan.

Sejak saat itu, aku mulai belajar hidup dengan rindu. Bukan sebuah rindu yang menyiksa. Tapi rindu yang lembut. Sebuah rindu seperti aroma hujan yang samar menembus jendela. Seperti suara angin yang menyusup di sela-sela malam.

***

Aku pernah berpikir dan bergumam dalam diam. Mungkinkah semesta akan mempertemukan kita lagi?

Tidak harus dalam skenario romantis. Mungkin hanya sekilas di antara keramaian orang-orang di lorong pasar. Di halte tempat orang menunggu untuk beranjak pulang.

Sekilas di tempat kita menghabiskan waktu bersama dulu. Di stasiun kereta atau di pusat kebugaran dan arena publik lainnya.

Mungkin kita hanya saling melempar senyum dan berjalan kembali. Bisa juga sekedar berbincang santai.

Jika semesta berbaik hati. Ia pasti mempertemukan kita dalam waktu yang tepat.

Hingga waktu itu tiba, akan kubisikkan ini dalam dekapan jiwa. “aku masih menyimpanmu. Kau masih tinggal di sini. Di tempat yang tak pernah diganti siapapun.”

Lalu bagaimana hidupmu sekarang? Ahhhh… aku belum begitu tahu. Aku hanya bisa membayangkannya dari potongan-potongan kecil kenangan.

Aku berharap kau memiliki hidup yang baik-baik saja. Aku harap siapapun yang saat ini bersamamu tahu bahwa betapa berharganya senyummu. Betapa berartinya dirimu. Betapa indahnya wajahmu yang berseri saat mata kita bertemu tatap. Betapa dalamnya sorotan matamu menyimpan dunia.

Jika suatu saat nanti kau membaca ini. Atau entah bagaimana kau bisa merasakan isi hati ini. Ketahuilah bahwa bahkan jika kita tidak bertemu lagi aku tetap bersyukur pernah mengenalmu.

Cinta yang pernah hadir tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berdiam menjadi doa dalam sunyi. Menjadi detak yang selalu sama sejak lonceng hati berdentang.

***

Dan bila esok tiba…..

Jika waktu akhirnya mempertemukan kita. Mungkin bukan sebagai dua insan yang ingin kembali. Tapi sebagai dua jiwa yang telah berdamai.

Aku ingin kita saling duduk di bangku tua berbagi cerita tentang hidup yang telah lama kita jalani sendiri-sendiri. Lalu kita tertawa.

Mungkin sambil menatap langit senja. Ataupun menatap langit malam. Lalu sambil kita mengenang hari-hari ketika cinta mulai bertunas. Ketika hati ini berdebar dan mencoba menyatu satu sama lain.

Dan jika percakapan itu ada jeda sunyi. Biarlah aku menggengam tanganmu dan merasakan getaran yang dulu pernah ada yang selama ini tersimpan rapi.

Kita mungkin tidak perlu mengucapkan “aku rindu. Kita tidak perlu berkata “aku masih cinta”.

Sebab cinta yang sesungguhnya tidak butuh itu semua. Ia hanya butuh dua hati yang saling tahu. Saling merasakan meski dalam diam.

***

Malam semakin larut. Hujan sudah redah tapi jejaknya masih basah di jalanan. Aku masih duduk di sini menuliskan semua ini untukmu. Entah akan terbaca atau tidak. Entah akan sampai atau hanya menguap bersama malam.

Tapi satu hal yang pasti. Aku telah mencintaimu dengan segenap hati. Perasaan itu tidak pernah pergi.

Ia akan tetap tinggal. Menjadi pelukan yang abadi dalam rindu. Menjadi kenangan yang tak pernah redup. Dan akhirnya menjadi cinta yang akan selalu menyapa, bila esok tiba. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *