Program Live-In: Pengalaman Melihat, Merasakan dan Belajar Tentang Makna Hidup sebagai Manusia

by -46 Views

Nama saya Fransiskus Theodorus. Saya adalah siswa kelas 12 dari Sekolah Kemurnian II Jakarta Barat. Saya ingin berbagi kisah saya tentang pengalaman Live-in yang baru saja saya lakukan di daerah Yogyakarta. Memang, sudah lama saya mendengar tentang program live-in. Istilah  Live-in, berasal dari kata live dan in yang terjemahan bebasnya yaitu “tinggal di”. Jadi, pengertian program live in dipahami sebagai suatu kegiatan yang dirancang agar individu atau suatu kelompok dapat berinteraksi secara langsung dengan kelompok masyarakat lain yang berbeda latar belakang baik sosial, ekonomi, adat, budaya maupun alam lingkungannya.

Dengan kata lain, di mana seseorang tinggal bersama keluarga lokal untuk merasakan kehidupan sehari-hari mereka. belajar tentang budaya dan tradisi mereka, serta memahami dinamika sosial yang ada. Dalam prakteknya, peserta live in bukan hanya tinggal dengan kelompok masyarakat lain saja, namun juga mengikuti aktifitas atau kegiatan masyarakat yang ditempatinya.

Tujuan atau manfaat live in tidak lain adalah untuk meningkatkan kepekaan sosial, pembentukan karakter, pembelajaran atau pendidikan multikulturalisme, melatih kemandirian, kebersamaan, meningkatkan rasa persaudaraan dengan sesama, belajar bekerjasama. Selain itu, program  live in dapat menumbuhkan sikap toleransi dan belajar beradaptasi dengan lingkungan yang benar – benar baru.

 Setiap kali saya mendengar tentang program live ini dengan ide-ide dibaliknya, saya selalu merasa tak sabar untuk ikut dalam kegiatan tersebut. Terutama setelah saya mendengar cerita-cerita dan pengalaman yang menyenangkan di live-in kakak saya. Oleh sebab itu, saat saya mendengar bahwa kami akan pergi untuk mengikuti live-in, saya merasa begitu antusias dan senang. Bonusnya adalah karena saya bisa jalan-jalan bersama teman-teman saya yang kali ini ke Yogyakarta.

Hari demi hari saya menunggu waktunya untuk segera tiba. Hingga pada akhirnya hari keberangkatan pun datang tepatnya pada hari senin tanggal 28 Oktober 2024. Saya dan teman-teman saya pergi bersama ke stasiun Senen dimana kami akan naik kereta menuju Jogjakarta. Setiba di stasiun, saya masih belum menemukan teman-teman saya yang lainnya karena kami dengan begitu antusiasnya datang 3 jam sebelum keberangkatan. Oleh sebab itu, kami memutuskan untuk membeli makanan. Kami pun makan dan keliling stasiun. Tanpa disadari waktu keberangkatan sudah mendekat dan guru-guruku mulai mengumpulkan kami semua peserta live-in untuk emndapatkan arahan. Kami pun berangkat pada pukul 10.00 WIB.

Di kereta banyak diantara kami yang tidak bisa tidur. Alhasil keesokan harinya kami pun merasa lelah saat tiba di stasiun Yogyakarta. Namun, kegiatan tetap harus berjalan dan kami pun mulai berangkat ke tempat wisata Vw dimana kami berfoto-foto dan bersenang-senang. Selama perjalanan tersebut saya merasakan rasa kekeluargaan dan kebersamaan yang begitu erat dengan teman-teman saya. Kami berencana untuk membuat banyak pengalaman selama live-in kali ini. Terutama karena ini mungkin bisa menjadi satu-satunya kegiatan yang kami lakukan bersama-sama dengan teman satu angkatan, mengingat kita sudah kelas 12.

Setelah itu, akhirnya kami pun pergi ke desa. Sesampai di sana, kami dikumpulkan di sebuah aula sekolahan dekat dengan sebuah gereja Katolik. Di sana kami diberitahu tentang kegiatan apa saja yang kami akan lakukan, peraturan yang harus diikuti, dan lain sebagainya. Akhirnya kami pun diantar ke dalam desa dimana kami dikumpulkan dan dibagi menjadi berpasang-pasangan ada yang dua, tiga atau lebih dari itu. Masing-masing pasangan akan tinggal bersama satu keluarga. Dan saya bersama sahabat saya, Joshua akan tinggal bersama keluarga Pak Yuni dan Bu Martani.

Namun, saat saya pertama kali masuk ke rumah mereka, jujur saya merasa kurang nyaman. Perasaan itu hadir ketika saya berpikir jika kami harus tinggal di rumah orang yang kami tidak kenal. Lebih dari pada itu, saya dan teman saya merasa menyulitkan kedua orang tua asuh kami. Tetapi saat kami pertama kali masuk kami langsung disambut hangat oleh keluarga tersebut. Sambutan hangat tersebut menghilangkan seluruh beban pikiran kami berdua, meski kami masih sedikit tidak nyaman. 

Kami pun disiapkan makan siang berupa sayuran, abon, dan ayam tepung. Setelah selesai makan kami langsung berinisiatif untuk mencuci piring dan segera berkenalan lebih lanjut dengan kedua orang tua asuh kami. Dari percakapan tersebut kami mengetahui bahwa mereka memiliki 2 anak. Satu sudah kuliah sedangkan satu lagi masih SMA. Kami juga banyak bertanya tentang pekerjaan kedua orang tua asuh kami sehingga kami dapat membantu pekerjaan mereka. Ternyata Pak Yuni merupakan seorang supir truk material dan Bu Martani merupakan seorang penjaga toko.

Setelah sedikit bercakap-cakap karena merasa penasaran dengan desa tersebut kami pun pergi untuk melihat desa sekeliling kami. Sepanjang perjalanan, kami bertemu dengan begitu banyak warga desa yang begitu ramah. Semua orang yang bertemu dengan kami baik itu anak kecil, remaja, orang tua maupunlanjut usia, semuanya menyapa dan menyambut kami dengan hangat. Kami pun banyak bertanya tentang usia, kegiatan sehari-hari mereka, dan tentang desa ini. Dari informasi yang kami peroleh, kami mengetahui bahwa ternyata desa yang kami huni ada 2 desa. 

Kami juga bertemu dengan teman kami Siman dan Hezkiel di rumah pak Parijo. Kami pun berkenalan dengan keluarga mereka dan beristirahat sebentar di rumah mereka. Lalu kami Kembali ke rumah kami untuk mandi dan beristirahat sebab kedua orang tua asuh kami pun sedang tidak bekerja.

Saat saya baru saja menutup mata saya, teman-teman saya yakni Siman, Hezkiel, dan beberapa teman perempuan membangunkan saya dan Joshua. Kami pun diajak untuk pergi ke sawah untuk membantu keluarga mereka mengumpulkan rumput. Saya dan ketiga teman saya pun pergi ke tengah sawah untuk mencari ibu asuh Siman. Tetapi di tengah perjalanan, semakin lama jalan di sawah semakin sempit dan licin. Pada akhirnya Joshua pun jatuh dan menarik siman dan saya dengannya. Kami bertiga pun jatuh dan sendal saya dan siman hilang.

Akhirnya, kami pun terpaksa kembali meski belum berhasil menemukan ibu asuh Siman dan membantunya. Saat kami Kembali Pak Yuni sudah menunggu kami di tepi sawah dan saat melihat alas kaki kami hilang dirinya pun tertawa terbahak-bahak dan segera mengantarkan kami ke warung untuk membelikan kami sendal baru. Dari kejadian tersebut meskipun terdengar mengesalkan, justru saya merasa sangat senang. Saya merasakan cinta kasih dari Pak Yuni karena dirinya telah peduli terhadap kami yang bahkan bukan anak aslinya dengan membelikan kami alas sepatu baru.

Setelah Kejadian tersebut setiap kali seseorang yang melihat sandal ku yang berbeda sebelah semua orang selalu bertanya apa yang terjadi dan cerita kami pun tersebar hingga desa sebelah. Malam hari pun tiba dan kami pergi ke desa sebelah untuk mengikuti acara kebudayaan dimana kami mendengarkan nyanyian lagu-lagu pujian kepada Tuhan Yesus dengan Bahasa Jawa. Disana kami belajar banyak hal tentang budaya setempat dan betapa pentingnya Tuhan bagi warga desa disana. Ketika mereka terpuruk mereka selalu bersandar dan menyerahkan diri pada Tuhan. Mereka menyuarakan pujian mereka dengan nyanyian-nyanyian berbahasa Jawa.

Setelah selesai, kami pun kembali ke rumah dan tidur. Keesokan paginya, kami disambut dengan makanan hangat. Setelah makan, kami mulai melakukan pekerjaan rumah, seperti menyapu halaman dan mencuci piring. Lalu, kami pun duduk bersantai-santai di halaman rumah sambil mengobrol dengan pak Yuni dan Bu martini.

Pak Yuni bercerita mulai dari pengalamannya dulu bekerja di Jakarta hingga perjalanan dia keliling Jawa naik motornya. Dari cerita-cerita Pak Yuni saya bisa merasakan betapa terbukanya pak Yuni ketika bercerita. Dirinya bercerita kepada kami dan mengajarkan kami pengalaman-pengalaman hidupnya meskipun kami bukan anak aslinya. Kami pun merasa diterima dan disana saya merasakan cinta kasih keluarga dan sadar bahwa kasih bukan diberikan hanya kepada orang yang kita kenal dan dekat saja tetapi kepada semua orang. Kasih bisa berupa banyak bentuk mulai dari hal-hal kecil maupun besar.

Setelah itu kami pun berpamitan dengan kedua orang tua kami dan pergi melakukan kegiatan seperti membuat klepon dan keliling desa untuk melihat mata air, PLTA, dan ke warung. Pada hari kedua ini, tepatnya pada malam hari, saya dan 11 teman lainnya memutuskan untuk berkumpul di rumah salah satu teman saya. Di sana kami banyak berbagi cerita, bersenang-senang, bersantai-santai di warung. Kami membahas masa depan kami dan pengalaman bersama-sama di SMA. Kami merasa senang bisa berkumpul tetapi juga sedih karena sebentar lagi kami akan lulus dan berpisah. Tetapi kami berdoa agar tetap bisa berkumpul dan bersenang-senang bersama lagi sembari bercerita tentang pengalaman yang telah kami lewati. Pada malam itu kami semua yang berkumpul disana diajarkan betapa pentingnya pertemanan, kebersamaan. Bahwa pengalaman yang telah kami lewati bersama tidak bisa diulang tetapi kami tetap bisa membuat pengalaman baru dan mengenang yang lama.

Setelah itu, kami juga keliling desa di malam hari dengan tujuan untuk “uji nyali” ke tempat-tempat yang konon katanya seram. Jujur saja, saya bukan seseorang yang begitu percaya tentang hal-hal mistis. Sebab saya percaya atas kuasa Tuhan tetapi di satu sisi saya juga penakut. Jadi ketika kami melewati tempat-tempat seram di desa itu saya, merupakan orang yang ingin jalan di tengah rombongan dan selalu terlihat panik. Hal tersebut membuat teman-teman lain tertawa karena melihat betapa takutnya saya. Tetapi setelah berkumpul, saya dan Joshua memutuskan untuk pulang berdua ke rumah kami yang letaknya cukup jauh dari rumah teman-teman kami yang lain. Saat itu kami sadar bahwa kami hanya berdua dan harus jalan melalui tempat yang sangat gelap tanpa adanya lampu jalanan dan orang di sekitar. Kami pun turun ke rumah kami sambil berpegangan tangan, mengobrol dan bernyanyi lagu pujian kepada Tuhan agar dilindungi sepanjang jalan.

Keesokan harinya, merupakan hari terakhir kami di desa tersebut. Tak terasa ini sudah hari terakhir kami di desa itu. Banyak pengalaman yang telah kami buat disini. Pada hari terakhir, kedua orang tua asuh kami tidak memberikan pekerjaan kepada kami agar kami dapat mempacking baju dan barang bawaan kami. Detik, menit, dan jam pun berlalu hingga saatnya untuk pulang dari desa tersebut pun tiba. Kami memberikan sebuah kenang-kenangan dan sebuah surat kepada kedua orang tua kami yang berisikan rasa terimakasih kami kepada mereka atas segalanya. Kami pun bertukar nomor Wa dan foto bersama untuk terakhir kalinya sebelum berpisah. 

Kami membuat sebuah janji bahwa akan kembali ke sini saat liburan dan kedua orang tua kami merasa sangat senang. Mereka menantikan kedatangan kami Kembali. Kami pun naik truk angkut kami dan pergi meninggalkan desa. Desa itu pun semakin lama semakin jauh hingga akhirnya tak terlihat lagi. Tetapi meskipun kami sudah pergi meninggalkan desa tersebut kami tetap membawa kembali pelajaran hidup dan pengalaman yang tak terlupakan.

Dari pengalaman live-in tersebut, kami diajarkan cara untuk hidup sederhana tanpa HP dan teknologi. Di mana tanpa teknologi, kita bisa lebih banyak bersyukur dan beraktivitas dengan teman-teman dan keluarga kita. Kita bisa lebih menghargai waktu yang diberikan. Selain itu, kami juga diajarkan bagaimana cara untuk bersyukur atas segala hal. Mulai dari hal-hal kecil bahwa kebahagian datang bukan dari kemewahan tetapi dari kebersamaan, cinta kasih dan kekeluargaan. 

Hal ini nampak jelas saat saya berkumpul bersama teman teman saya dan merasa bahagia. Atau saat kita melihat keluarga kecil Pak Yuni dan Bu Martani yang harmonis dan bahagia meski tidak hidup dengan kemewahan. Terakhir, kami diajarkan untuk berbuat kasih dan peduli terhadap semua orang bahkan orang yang tak dikenal sekalipun. Layaknya pada injil tentang orang Samaria yang baik hati. Saya dan teman-teman saya diibaratkan sebagai orang yang terluka, dibantu dan diterima oleh keluarga Pak Yuni yang diibaratkan sebagai orang Samaria yang baik. Kami tidak membawa harta berharga untuk diberi tetapi keluarga pak Yuni menerima kami apa adanya dan mencoba untuk dekat dengan kami. Dari sana kami diajarkan untuk menjadi seorang katolik seperti keluarga Pak Yuni dan Bu Martani yang peduli dan menyebarkan kasih kepada semua orang. *** Fransiskus Theodorus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *