Di Kaki Gunung

by -9 Views
Foto Kaki Gunung

Pada malam 22 Desember 2025, di akhir bulan yang kerap membawa banyak renungan di penghujung tahun aku menuliskan kisah ini untuk pertama kalinya. Setelah seminggu kusimpan aku mencoba kembali menyusunnya. Ini seperti membuka pintu yang pernah kututup pelan. Lalu aku membiarkan sunyinya malam, jarak dan sisa-sisa perasaan kembali meresap ke dalam kata-kata yang tak pernah benar-benar selesai.

***

Aku duduk di kaki gunung, di malam yang sunyi. Kota di kejauhan mulai meredupkan lampu-lampunya satu per satu. Di langit yang gelap, bulan setengah tertutup awan. Ia tampak seolah menatapku diam-diam.

Angin malam membawa aroma tanah basah dan daun yang rapuh. Seakan-akan itu mengingatkanku bahwa dunia ini tetap bergerak meski aku tetap di tempat.

Kali ini aku menuliskan lagi catatan tentang kisahku. Aku menulis bukan karena ingin dilihat tapi karena aku ingin menghadapi sesuatu yang terlalu besar untuk diucapkan−sesuatu yang terasa dekat namun tak bisa kujangkau.

Dia. Sosok yang selalu hadir di pikiranku bahkan ketika mataku menatap ke arah lain. Dia yang menampilkan kekuatan seolah-olah dunia tidak punya bobot baginya.

Aku tahu ada jarak antara apa yang dia tunjukkan dan apa yang dia simpan. Ada dinding sunyi yang memisahkan dunia kita. Sebuah jurang yang tak terlihat tapi terasa tajam di setiap detik yang aku habiskan bersamanya.

Kadang aku ingin mendekat dan ingin menembus dinding itu tapi selalu ada sesuatu yang menahan. Tentu bukan darinya tapi dari aku sendiri.

Aku menuliskan ini dan di malam ini karena kata-kata lain terlalu nyata atau terlalu berat. Hanya di sini, di kaki gunung yang diam aku bisa meraba-raba perasaan itu tanpa takut akan tumpah ke dunia yang akan menolak atau menyalahartikan.

Aku menulis tentang dia tapi sebenarnya juga tentang diriku sendiri. Tentang semua hal yang tersimpan rapi. Tentang hal yang terlalu dalam untuk diucapkan tanpa ada dia sebagai saksi atau alasan.

Di sekitar ku duduk, sepanjang mata melihat, lampu-lampu seperti bintang-bintang yang jatuh. Mereka memberi cahaya tapi tidak cukup untuk menembus kegelapan sunyi di dalam hati.

Aku sering membayangkan dia seperti cahaya itu. Dia yang terlihat dan terasa di dalam hati. Iya, dia yang terlihat dekat tapi tetap terasa seperti jauh. Dia selalu terlalu jauh untuk dijangkau. Mungkin itulah yang membuat perasaan ini terasa semakin jauh hingga terhalang tirai yang seakan tak punya celah untuk dilewati.

Sejujurnya aku menangkap ada banyak yang tersembunyi dibalik lapisan kokoh itu. Aku ingin bertanya, ingin menembus lapisan itu tapi suaraku selalu terjebak di tenggorokan.

Aku tahu dia memiliki dunia sendiri. Dunia yang penuh dengan hal-hal yang tak ingin dia bagi. Lalu aku juga demikian. Aku punya dunia sendiri. Dunia yang penuh dengan hal-hal yang tak bisa aku bagi kecuali mungkin hanya jika dia ada di sana. Kami hadir dan kadang bisa berdekatan dalam diam seperti dua sungai yang mengalir berdekatan tapi tak pernah benar-benar bertemu.

Malam ini dan di sini, di gunung yang menjulang di depanku seperti saksi yang sunyi. Ia tahu bahwa ada perasaan yang lebih dalam dari sekedar kata-kata. Lebih berat dari udara yang kutarik dan lebih rapuh dari daun yang berguguran.

Aku menulis seakan-akan gunung ini bisa menahan rahasia kita. Bisa juga gunung ini menjadi tempat di mana perasaan ini tidak menuntut penjelasan atau balasan. Aku ingin menulisnya sampai kata-kata kehilangan bentuknya menjadi getaran murni di udara malam.

Dia nampak seperti sosok yang rapuh tapi kuat. Itu paradoks yang terus membingungkan aku. Bagaimana mungkin seseorang bisa menahan badai dalam diam sambil terlihat seakan semua baik-baik saja?

Aku di sisi lain juga demikian rapuh dalam diam. Tapi rapuhku berbeda. Lebih kepada ketidakmampuan untuk menjembatani jarak. Rapuh untuk mengubah tatapan atau kata-kata menjadi sesuatu yang bisa dia rasakan. Aku terperangkap dalam ketidakmampuan itu seperti air yang ingin mengalir tapi terhalang batu-batu yang tak terlihat.

Kadang aku membayangkan jika aku bisa berkata semua yang kurasakan mungkin dunia kita akan berubah. Tapi entahlah. Aku hanya tak ingin kata-kata itu terlalu berat, terlalu nyata dan terlalu mengubah.

Mungkin aku juga takut jika aku terlalu dekat dengan perasaan itu aku akan kehilangan sesuatu yang halus dan murni. Sesuatu yang hanya ada ketika dia tetap sedikit jauh. Atau ketika rahasianya tetap menjadi misteri disaat aku tetap bisa memandangnya dengan kekaguman yang sunyi.

Malam ini saat menuliskan ini, aku mencoba membiarkan bayangan dia menari di antara huruf dan kata. Aku membiarkan rasa itu mengalir bebas sebebasnya hingga mengalir deras bersama sejuknya udara malam.

Benar saja ada ketenangan aneh dalam perasaan yang tak tersampaikan ini. Ia seperti sungai yang mengalir di bawah tanah; tak terlihat tapi selalu ada, selalu bergerak dan selalu hidup bahkan saat tubuh tak punya ruang untuk berpindah.

***

Aku melihat bintang-bintang di atas dan aku berpikir tentang semua hal yang tak terucap. Tentang semua tawa yang terlalu cepat berlalu tapi selalu meninggalkan jejak. Tentang semua tatapan mata yang selalu menetap. Pun tentang senyum wajah yang berbinar yang selalu terpotret abadi dalam memori. Dan akhirnya tentang semua perasaan yang tak menemukan tempat untuk tinggal selain di hati.

Aku sadar bahwa kita mungkin tidak pernah bisa menjembatani semua itu. Karena itulah yang mungkin membuat semuanya itu menjadi berharga. Perasaan yang tersembunyi, yang rapuh, yang membebani sekaligus memberi cahaya.

Jauh dari keramaian kota dan di kaki gunung ini bersama malam yang hening, semuanya sepertimenjadi bingkai yang sempurna untuk perasaan ini. Tanpa mereka aku mungkin tidak akan menulis. Tanpa mereka mungkin aku hanya akan menelan semua ini sendiri.

Dan mungkin aku akan membiarkan kata-kata itu mengeras menjadi beban yang tak bernama. Tapi di sini, dalam diamnya malam aku merasa bebas untuk menjadi diriku sendiri. Untuk merasakan, untuk mengagumi dan untuk merindukan.

Aku menuliskan ini bukan untuknya saja. Bukan juga untuk diriku sendiri sepenuhnya. Aku menulis untuk sesuatu yang ada dan yang hadir di antara kita. Sesuatu yang terlalu halus untuk disentuh dan terlalu berat untuk diabaikan.

Goresan kisah ini diabadikan agar perasaan itu tetap hidup meski dunia di sekitar kita terus bergerak. Meski malam ini segera akan berakhir. Meski gunung dan kota akan kembali pada kesunyian mereka masing-masing. Aku tuliskan ini agar bisa di kenang sebagai bagian dari kisah yang pernah hadir. Sesuatu yang tetap utuh. Sesuatu yang tidak perlu diucapkan. Dan sesuatu yang hanya bisa dirasakan.

Mungkin suatu hari kata-kata akan cukup. Mungkin suatu hari jarak akan hilang. Tapi saat ini aku biarkan seluruh rasa jiwaku, di malam sunyi di kaki gunung ini tetap menjadi rahasia indah yang tersembunyi di antara kita.

Aku menulis sampai jariku terasa berat. Sampai mataku mulai mengantuk. Tapi aku tahu perasaan ini tetap bersamaku mengalir di bawah huruf dan kata.

Aku tetap di sini menatap langit, mendengar bisikan angin dan membiarkan perasaan ini menjadi milikku bahkan tanpa kata-kata yang sempurna.

Malam ini, di kaki gunung ini aku belajar satu hal: ada perasaan yang terlalu dalam untuk diucapkan. Terlalu kuat untuk diabaikan dan terlalu rapuh untuk disentuh. Kadang yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk merasakannya, untuk menuliskannya.

Pada akhirnya keberanian untuk membiarkannya terus tumbuh dan hidup diam dalam hati hingga semesta menumbuhkan tunas dan api tuk berucap. Karena pada kesejatiannya, semesta selalu punya cara untuk mempertemukan mereka yang saling mencintai tak perduli waktu dan keadaan.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *