JAKARTA, RATIMNEWS.COM – Ria Ricis cerai. Selebgram Ria Ricis mengajukan gugatan cerai kepada suaminya lewat Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada, Selasa, 30 Januari 2024 melalui sistem e-court.
“Untuk nama tersebut, sudah mendaftar di kepaniteraan Jakarta Selatan di tanggal 30 Januari 2024 sore hari, atas nama Ria Yunita dan Teuku Rushariandi.” kata Humas Pengadilan Agama Jakarta Selatan,Taslimah, Rabu (31/1/2024).
Lanjutnya, “Yang mengajukan gugatan adalah penggugat. Dalam hal ini istrinya mengajukan tuntutan gugatan kumulasi, cerai gugat, hadhanah, dan nafkah anak.”
Adik dari Oki Setiana Dewi ini melayangkan tiga gugatan kepada Teuku Ryan yaitu gugat cerai, nafkah, dan hak asuh anak.
Nafkah hadhanah sendiri seringkali disebut dengan nafkah anak. Dilansir dari Justika, apabila pasangan yang bercerai memiliki anak yang berusia dibawah 21 tahun, mantan suami tetap wajib memberikan nafkah anak ke mantan istri.
Hal tersebut terjadi bila, yang memegang hak asuh anak adalah mantan istri
Sekadar informasi, Ria Ricis dan Teuku Ryan menikah pada 12 November 2021.
Mereka berdua dikaruniai anak perempuan bernama Cut Raifa Aramoana, yang pada 2022 lalu.
Ria Ricis Cerai Berhak nafkah iddah dan mut’ah
Dilansir dari Hukumonline, dalam kasus cerai gugat, istri tetap berhak atas nafkah mut’ah dan iddah selama tidak terjadi nusyuz. Namun demikian, apa sebenarnya definisi dari nafkah iddah?
Usai putusan perceraian, mantan istri akan memasuki periode iddah di mana mereka dilarang untuk dinikahi menurut ajaran agama Islam.
Nafkah iddah diberikan oleh mantan suami kepada mantan istrinya, dengan syarat mantan istri tidak melakukan nusyuz. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 152 KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Nusyuz sendiri adalah perilaku tidak taat dan memberontak seorang istri terhadap suaminya tanpa alasan yang sah.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 84 KHI, Istilah Nusyuz dapat diterapkan jika istri enggan melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (1) KHI. Kecuali dengan alasan yang sah.
Kewajiban istri, yang diatur dalam Pasal 83 ayat 1 KHI, melibatkan pengabdian lahir dan batin kepada suami sesuai dengan norma hukum Islam.
Sementara itu Nafkah mut’ah/nafkah penghilang pilu, memiliki tujuan untuk meredakan penderitaan istri saat harus berpisah dengan suaminya. Oleh karena itu, mantan suami setidaknya diharapkan memberikan nafkah ini kepada mantan istrinya.
Dalam Bab I Pasal 1 KHI, dijelaskan bahwa mut’ah adalah pemberian dari mantan suami kepada mantan istri yang telah diceraikan. Terutama baik itu berupa benda, uang, atau hal lainnya.
Meskipun demikian, ada pandangan yang menyatakan bahwa jika istri yang mengajukan gugatan cerai, maka nafkah ini dianggap tidak berlaku. ***